Sebuah kapal layar tradisional khas kebanggaan Indonesia mempunyai nama kapal Pinisi. Kapal ini berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan. Meski banyak tempat pembuatan kapal di wilayah Sulawesi Selatan, namun yang paling terkenal bertempat di Tana Beru, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba. Kapal pinisi umumnya mempunyai dua tiang layar utama serta tujuh buah layar yang terbagi menjadi tiga buah layar di ujung depan, dua buah layar di depan serta dua buah layar di belakang. Dua tiang utama dalam kapal pinisi melambangkan dua kalimat syahadat dalam agama Islam, sementara tujuh buah layarnya melambangkan jumlah ayat dari surat Al-Fatihah. Namun ketujuh layar ini juga dapat diartikan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah berhasil mengarungi tujuh samudera besar yang ada di dunia. Kapal ini bisanya digunakan untuk pengangkutan barang antar pulau di Indonesia.
Sejak sekitar abad ke-14 Masehi, kapal Pinisi sudah ada dan sudah berlayar menjelajahi samudera di dunia. Hal ini diperkuat dengan cerita yang ada di dalam naskah Lontarak I Babad La Lagaligo, yakni sebuah karya sastra terbesar karya Suku Bugis. Menurut naskah tersebut, kapal Pinisi dibuat oleh seorang putra mahkota Kerajaan Luwu, yakni Sawerigading. Konon kapal tersebut dibuat dari pohon welengreng (pohon dewata) yang sangat kokoh dan tidak mudah rapuh yang akan digunakannya untuk pergi ke Tiongkok dan meminang seorang Putri Tiongkok bernama We Cudai.
Kapal Pinisi ini sangat istimewa karena dibuat oleh tangan-tangan ahli secara tradisional tanpa menggunakan peralatan modern dan tanpa gambar sama sekali. Sedangkan bahan pembuatan kapal biasanya menggunakan kayu besi maupun kayu jati. Walaupun hanya terbuat dari kayu namun kehebatan kapal Pinisi ini sudah tidak diragukan lagi. Berat dari sebuah kapal pun dapat mencapai hingga ratusan ton. Sedangkan untuk proses pembuatan sebuah kapal Pinisi pun biasanya memerlukan sebuah upacara atau ritual khusus.
Tahap pertama proses pembuatannya adalah pemotongan “lunas”. Lunas adalah bagian paling dasar dari sebuah kapal Pinisi. Pemotongan lunas ini hanya bisa dilakukan oleh seorang pawang kapal. Sedangkan sesajen yang digunakan dalam ritual biasanya adalah sesajen yang berasa manis serta seekor ayam jago berwarna putih. Sesajen manis mempunyai makna dan harapan bahwa kapal yang akan dibuat nantinya dapat mendatangkan keberkahan sedangkan seekor ayam jago berwarna putih dan terikat pada lunas mempunyai harapan bahwa nantinya tidak akan darah atau korban yang keluar selama proses pembuatan kapal. Pemotongan lunas sendiri dilakukan di dua tempat, yakni di bagian depan dan bagian belakang. Hasil potongan dari bagian depan akan dibuang ke laut sebagai simbol kapal akan menyatu ke lautan lepas. Sementara bagian belakang akan tetap di darat sebagai simbol sejauh apapun kapal ini berlayar pasti akan kembali ke darat juga.
Bila proses pembuatan kapal sudah memasuki tahap akhir, yakni peluncuran, maka akan diselenggarakan sebuah upacara selamatan yang disebut Appasili yang berfungsi untuk menolak bala. Lalu dilanjut dengan upacara Ammossi berupa pemberian pusat di tengah lunas dan kemudian kapal ditarik ke laut.
Kapal Pinisi terbagi menjadi dua jenis, yakni Lamba/Lambo berupa kapal Pinisi modern yang dilengkapi dengan motor diesel dan Palari berupa kapal Pinisi dengan bentuk awalnya yakni lunas yang melengkung dengan ukuran yang lebih kecil dari Lamba. Seiring berjalannya waktu, selain sebagai kapal pengangkut barang, kapal Pinisi di zaman modern ini juga sudah banyak yang berfungsi sebagai kapal pesiar dengan interior mewahnya. Jadi sudah sepantasnya kita bangga dengan kapal khas Indonesia ini.
Sumber : utiket.com
No comments:
Post a Comment